Modul 6. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal

K.B.1. Pemahaman mengenai Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Setidaknya ada tiga ciri utama yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, yaitu :
- Pertama, lambang- lambang nonverbal digunakan paling awal sejak kita lahir di dunia ini, sedangkan setelah tumbuh pengetahuan dan kedewasaan kita, barulah bahasa verbal kita pelajari.
- Kedua, komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita pergi ke luar negeri misalnya dan kits tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara tersebut, kita bisa menggunakan isyarat-isyarat nonverbal dengan orang asing yang kita ajak berkomunikasi.
- Dan ciri yang ketiga adalah, bahwa komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa nonverbal yang lebih merupakan aktivitas emosional.

1. DEFINISI
Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata. Dengan demikian, definisi kerja dari komunikasi nonverbal adalah pesan lisan dan bukan lisan yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and nonoral messages expressed by other than linguistic means).
Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu.
a. Frank EX Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content meaning).
b. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).
c. Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi: Komunikasi Antar Budaya memberikan batasan-batasannya sebagai berikut.
1) Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.
2) Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara.
3) Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain.
4) Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.

2. PERBEDAAN KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL
Dalam pemikiran Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga perbedaan utama di antara keduanya yaitu kesengajaan pesan (the intentionality of the message), tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in the act or message), dan pemrosesan mekanisme (processing mechanism). Kita mencoba untuk menguraikannya satu per satu.
a. Kesengajaan (intentinolity)
Michael Burgoon dan Michael Ruffner menegaskan bahwa sebuah pesan verbal adalah komunikasi kalau pesan tersebut :
1) dikirimkan oleh sumber dengan sengaja dan
2) diterima oleh penerima secara sengaja pula.
Komunikasi nonverbal tidak banyak dibatasi oleh niat. atau intent tersebut. Persepsi sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan menjadi komunikasi nonverbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan dengan komunikasi verbal. Selain itu, komunikasi nonverbal mengarah pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak terdefinisikan dengan jelas.

b. Perbedaan perbedaan simbolik (symbolic differences)
Komunikasi verbal dengan sifat-sifatnya merupakan sebuah bentuk komunikasi yang diantarai (mediated form of communication). Dalam arti kita mencoba mengambil kesimpulan terhadap makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata. Kata-kata yang kita gunakan adalah abstraksi yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi verbal bersifat intensional dan harus 'dibagi' (shared) di antara orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Sebaliknya, komunikasi nonverbal lebih alami, isi beroperasi sebagai norma dan perilaku yang didasarkan pada norma. Mehrabian menjelaskan bahwa komunikasi verbal dipandang lebih eksplisit dibanding bahasa nonverbal yang bersifat implisit. Artinya, isyarat-isyarat verbal dapat didefinisikan melalui sebuah kamus yang eksplisit dan lewat aturan-aturan sintaksis (kalimat), namun hanya ada penjelasan yang samar-samar dan informal mengenai signifikansi beragam perilaku nonverbal.
Mengakhiri bahasan mengenai perbedaan simbolik ini, kita mencoba untuk melihat ketidaksamaan antara tanda (sign) dengan lambang (simbol). Tanda adalah sebuah representasi alami dari suatu kejadian atau tindakan. la adalah apa yang kita lihat atau rasakan. Sedangkan lambang merupakan sesuatu yang ditempatkan pada sesuatu yang lain. Lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Contoh, tanda dari sebuah kursi adalah kursi itu sendiri, sedangkan lambang adalah bagaimana kita menjelaskan kursi tersebut melalui abstraksi. Dengan perkataan lain, apa yang secara fisik menarik bagi kita adalah tanda (sign) dan bagaimana menciptakan perbedaan yang berubah-ubah untuk menunjukkan derajat ketertarikan tersebut adalah lambang (simbol).
Komunikasi verbal lebih spesifik dari bahasa nonverbal, dalam arti is dapat dipakai untuk membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubah-ubah, sedangkan bahasa nonverbal lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami seperti perasaan atau emosi.

c. Mekanisme pemrosesan (processing mechanism)
Dalam buku Komunikasi Antar Budaya karya Ilya SunarwinadiSamovar, Porter dan Jain melihat perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal dalam hal sebagai berikut.
a. Banyak perilaku nonverbal yang diatur oleh dorongan-dorongan biologik. Sebaliknya komunikasi verbal diatur oleh aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dibuat oleh manusia, seperti sintaks dan tata bahasa. Misalnya, kita bisa secara sadar memutuskan untuk berbicara, tetapi dalam berbicara secara tidak sadar pipi menjadi memerah dan mata berkedip terus-menerus.
b. Banyak komunikasi nonverbal serta lambang-lambangnya yang bermakna universal. Sedangkan komunikasi verbal lebih banyak yang bersifat spesifik bagi kebudayaan tertentu.
c. Dalam komunikasi nonverbal bisa dilakukan beberapa tindakan sekaligus dalam suatu waktu tertentu, sementara komunikasi verbal terikat pada urutan waktu.
d. Komunikasi nonverbal dipelajari sejak usia sangat dini. Sedangkan penggunaan lambang berupa kata sebagai alat komunikasi membutuhkan masa sosialisasi sampai pada tingkat tertentu.
e. Komunikasi nonverbal lebih dapat memberi dampak emosional dibanding komunikasi verbal.

3. FUNGSI KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL
Fungsi dari lambang-lambang verbal maupun nonverbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode nonverbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi: pengulangan (repetition), berlawanan (contradiction), pengganti (substitution), pengaturan (regulation), penekanan (accentuation) dan pelengkap (complementation).
Menurut Samovar (Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya), bahwa dalam suatu peristiwa komunikasi, perilaku nonverbal digunakan secara bersama-sama dengan Bahasa verbal:
- Perilaku nonverbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Misalnya menyatakan terima kasih dengan tersenyum.
- Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal. Misalnya menyatakan arah tempat dengan menjelaskan "Perpustakaan Universitas Terbuka terletak di belakang gedung ini", kemudian mengulang pesan yang sama dengan menunjuk arahnya.
- Tindak komunikasi nonverbal melengkapi pernyataan verbal, misalnya mengatakan maaf pada teman karena tidak dapat meminjamkan uang; dan agar lebih percaya, pernyataan itu ditambah lagi dengan ekspresi muka sungguh-sungguh atau memperlihatkan saku atau dompet yang kosong.
- Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. misalnya menyatakan rasa haru tidak dengan kata-kata, melainkan dengan mata yang berlinang-linang.
Hickson dan Stacks menegaskan bahwa fungsi-fungsi holistik tersebut dapat diturunkan dalam 8 fungsi, yaitu pengendalian terhadap percakapan, kontrol terhadap perilaku orang lain, ketertarikan atau kesenangan, penolakan atau ketidaksenangan, peragaan informasi kognitif, peragaan informasi afektif, penipuan diri (self- deception) dan muslihat terhadap orang lain.
Komunikasi nonverbal digunakan untuk memastikan bahwa makna yang sebenarnya dari pesan-pesan verbal dapat dimengerti atau bahkan tidak dapat dipahami. Keduanya, komunikasi verbal dan nonverbal, kurang dapat beroperasi secara terpisah, satu sama lain saling membutuhkan guna mencapai komunikasi yang efektif.



K.B.2. Komunikasi Nonverbal

A. MEMAHAMI KOMUNIKASI NONVERBAL

1. Karakteristik Komunikasi Nonverbal
Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu.
Karakteristik lain dari komunikasi nonverbal adalah sifat ambiguitasnya, dalam arti ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Dan karakteristik terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu. Maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur yang lain.

2. Kategori Komunikasi Nonverbal
Kategori lain dari komunikasi nonverbal adalah kinesics. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah tanpa melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman dan Wallace Friesen telah mengidentifikasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan kebencian atau kejijikan.
Bentuk lain dari kinesics adalah gerakan tangan, kaki dan kepala. Orang- orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering menggerakkan kepala dan tangannya selama interaksi berlangsung. Beberapa dari gerakan kepala dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya dilaksanakan secara tidak sengaja, namun semuanya memiliki makna.
Kategori selanjutnya dari komunikasi nonverbal adalah proxemics, yaitu suatu cara bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak komunikasi berusaha untuk merasakan dan menggunakan ruang (space). Antropolog Edward T. Hall mendefinisikan empat jarak yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, Ia menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak khusus bergantung pada bagaimana kita merasakan terhadap orang lain pada suatu situasi tertentu, konteks percakapan dan tujuan-tujuan pribadi kita. Keempat jarak tersebut adalah intimate distance, personal distance, social distance dan public distance.
Adapun klasifikasi Hall tersebut adalah sebagai berikut.
a. Intimate Distance Percakapan dalam jarak yang akrab ini berlangsung dengan bisikan atau suara yang sangat pelan. Dalam jarak ini, orang-orang yang berkomunikasi secara emosional sangat dekat dan dalam situasi yang sangat pribadi. Orang-orang yang terlibat dalam interaksi dengan jarak yang akrab ini merupakan suatu tanda bahwa di antara mereka tumbuh rasa saling percaya. Namun demikian, interaksi dalam jarak yang akrab ini juga terjadi dalam lingkungan yang kurang akrab, seperti ketika kita berobat ke dokter.
b. Personal distance Dalam jarak personal ini, kontak komunikasi yang berlangsung masih tertutup, namun percakapan-percakapannya tidak lagi bersifat pribadi dibanding dengan interaksi dalam jarak akrab.
c. Social distance Interaksi yang berlangsung dalam jarak sosial ini biasanya terjadi dalam situasi bisnis, misalnya interaksi antara salesman/girl dengan para calon pembeli/pelanggan. Dalam kontak komunikasi ini, suara yang lebih keras sangat dibutuhkan,
d. Public distance Contoh nyata dari komunikasi yang menggunakanjarak publik ini adalah perkuliahan dalam kelas dan pidato yang disampaikan pada suatu ruang tertentu. Dalam jarak publik ini, komunikasi yang bersifat dua arah (twoway traffic) sulit untuk dilaksanakan, sebab ada jarak yang cukup jauh antara pembicara dengan para pendengarnya.

Penampilan fisik acapkali mengekspresikan penandaan nonverbal tertentu. Hal ini dapat kita rasakan ketika memberikan stereotipe tertentu yang berkaitan dengan keadaan fisik seseorang. Biasanya ketika orang memilih dan memutuskan untuk memakai pakaian tertentu, maka dia secara sadar telah menggunakan tanda nonverbal untuk mengekspresikan makna melalui kesan tertentu dalam penampilannya. Waktu atau chronemics juga dapat menjadi penanda nonverbal yang digunakan ketika seseorang berkomunikasi.

3. Deskripsi Historis Komunikasi Nonverbal
Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu konsep yang disebut Prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa bahasa dalam drama atau puisi dapat "dibaca" hampir seperti notasi musik. Kemudian pada tahun 1806, Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya pada gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan ini menghasilkan sebuah sistem yang disebut dengan elocutionary system di mana isyarat-isyarat yang" pantas" dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah seni deklamasi atau keahlian membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan lagu yang baik di muka umum.
Kajian yang lebih kompleks tentang komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte menggabungkan suara dan gerakan-gerakan badan sekaligus. Dalam kajiannya tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi secara nonverbal merupakan "agents of the heart".

K.B.3.Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal

Teori-teori yang menjelaskan tentang fenomena nonverbal yang dapat diterapkan dalam konteks komunikasi.

1. Ethological Approach (Pendekatan Etologi)
Dua contoh etologis yang sering disebut-sebut adalah senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur mana pun juga.
a. Teori struktur kumulatif Dalam teorinya ini, Teori mereka dari Ekman dan Friesen disebut cumulative structure atau meaning centered karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku. Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi nonverbal merefleksikan dua hal: apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan verbal.
Selanjutnya, Ekman dan Friesen mengidentifikasi lima kategori dari expressive behavior yaitu emblem, ilustrator, regulator, adaptor, dan penggambaran perasaan, di mana masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi komunikasi. Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan anggukan kepala, acungan jempol, atau lambaian tangan.
- Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan serius, atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan.
- Regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari regulator dalam percakapan antara lain adalah senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur anus informasi pada suatu situasi percakapan.
- Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan kenyamanan bagi tubuh atau emosi. Terdapat dua subkategori dari adaptor, yaitu: `self' (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung) dan `object' (menggigit pinsil, memainkan kunci).. Perilaku ini biasanya dipandang sebagai refleksi kecemasan atau perilaku negative
- Penggambaran emosi atau `affect display' yang dapat disengaja maupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, gembira, sedih, dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa beberapa affect display yang berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut "affect bland".

b. Teori tindakan (Action theory)
Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi ke dalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya, terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakan yaitu:
- Inborn (Pembawaan) : merupakan insting yang dimiliki sejak lahir, seperti perilaku menyusu.
- Discovered (Ditemukan) : diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan kaki.
- Absorbed (Diserap) : Diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman) seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang.
- Trained (Dilatih) : diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya.
- Mixed Actions (Campuran) : diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat hal di atas.

2. Anthropological Approach (Pendekatan Anthropologis)
Pendekatan antropologis menganggap komunikasi nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.  Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut.

A. ANALOGI LIGUISTIK
- Terdapat tingkat Baling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk `infracommunicational system'.
- Komunikasi kinesic berbeda antarkultur dan bahkan antara mikrokultur.
- Tidak ada simbol bahasa tubuh yang universal.
- Prinsip-prinsip pengulangan (redundancy) tidak terdapat pada perilaku kinesic.
- Perilaku kinesic lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal.
- Kita harus membandingkan tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat.
Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja bersama- sama untuk menciptakan persepsi, dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, perilaku kinesic bersifat unik bagi tiap kultur atau subkultur, sehingga perbedaan individu dalam komunikasi nonverbal merupakan fungsi kultur atau subkultur di mana individu tersebut berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi nonverbal.
B. ANALOGI KULTURAL
Analogi kultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas komunikasi nonverbal dari aspek proxemics dan chronemics. Teori Hall mengenai proxemico mengacu kepada penggunaan "ruang" sebagai ekspresi spesifik dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan (artifactual), teritorial, dan personal. Lebih lanjut dia mengemukakan adanya tiga jenis ruang, masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda, yaitu: informal space, ruang terdekat yang mengitari kita (personal space); fixed feature space' yaitu benda di lingkungan kita yang relatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah, tembok, dan sebagainya; dan `semifixed feature space', yaitu barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space.
Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya, preferensi ruang seseorang ditentukan oleh delapan faktor yang saling terkait yang ditemukan dalam tiap kultur. Pertama adalah, jenis kelamin dan posisi dari orang yang sating berinteraksi, yaitu lelaki atau perempuan, dan apakah mereka duduk, berdiri, dan sebagainya. Kedua, sudut pandangan atau "angle" yang terbentuk oleh bahu dan dada/punggung dari orang yang berkomunikasi (faktor sociofugal-sociopetal axis). Ketiga, posisi badan ketika berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan (faktor kinesthetic). Keempat, sentuhan dan jenis sentuhan (faktor zero- proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata (faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan, kerasnya atau volume suara dalam interaksi (faktor voice loudness).
Dalam analisisnya mengenai chronemics atau waktu sebagai salah satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditemukan dalam berbagai kultur dalam bentuknya yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan `formal time, 'informal time , dan 'technical time' Formal time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu atau kelompok. Penggunaannya dapat berupa ungkapan `sebentar lagi', `nanti', atau `sekarang'. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu secara lebih spesifik, seperti `kilometer perjam', `tahun matahari' atau `meter per detik'.
3. Functional Approach (Pendekatan Fungsional)
Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal sebagai bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda dari pendekatan ethologis di mana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis di mana fungsi tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur. Dalam teori fungsional, norma-norma kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai `variasi kultural'. Persoalan yang muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan sejumlah fungsi yang berbeda, beberapa di antaranya menunjukkan kesamaan sementara sejumlah lainnya berbeda.
a. Teori metaforis dari Mehrabian Teori Mehrabian menempatkan perilaku nonverbal ke dalam pengelompokan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada di antara tiga kontinum, yaitu: dominan-submisif, menyenangkan tidak menyenangkan, dan mengairahkan tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan kekuasaan dan status, kesukaan, dan tingkat responsif. Metafora kekuasaan-status men- cerminkan tingkatan di mana perilaku nonverbal mengkomunikasikan dominasi atau submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum menyenangkan-tidak menyenangkan, sedangkan metafora responsif didasarkan pada kontinum menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut. Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya kesenangan, kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesic, para language, sentuhan danjarak/ruang.
b. Teori Equilibrium Michael Argyle dan Janet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-ekuilibrium. Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konflik antara kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong antara satu orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan. Kekuatan tersebut dijumpai dalam perilaku nonverbal yang berkaitan dengan pendekatan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 23 (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan gerakan tubuh yang lebih sering) dan penghindaran (jarak yang lebih jauh, kurangnya kontak mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi, kits mengalami atau menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada, dan suatu perubahan dalam satu saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi.
c. Teorifungsional dari Patterson Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memiliki lima fungsi, yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu pencapaian tujuan. Memberikan informasi antara lain membiarkan seseorang mengerti tentang perasaan kita. Mengekspresikan keintiman dapat dilakukan melalui sentuhan. Pengaturan interaksi antara lain mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan kontrol sosial digunakan ketika kits mengekspresikan pandangan. Membantu pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita.
d. Teori Fungsional Komunikatif Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada `kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi'. Teori ini menjelaskan peran yang dimiliki oleh komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi, seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan demikian teori ini telah mengalihkan perhatian dari suatu pemahaman mengenai bagaimana cara kerja komunikasi nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon mengemukakan terdapat sedikitnya sembilan fungsi, dari komunikasi emosional sampai pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu inisiatif untuk berinteraksi sebagai bersifat multi fungsional dan sebagai suatu bagian penting dari proses komunikasi. Jadi fokusnya bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh perilaku nonverbal, tetapi juga pada hubungan antara perilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada di baliknya.

K.B. Teori-teori Komunikasi Verbal

1. Nature Approach (Pendekatan Natural)
Teori Chomsky yang disebut `struktur dalam' (deep structure) mengasumsikan bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan (innategrammar) yang ada pads diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa. Teori ini mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa.
- Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apa pun subjeknya, predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. Demikian pula sebaliknya, apa pun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut.
- Kedua, hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan hubungan logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa suatu tindakan dilakukan.
Seorang teoretisi lain, Dan I. Slobin, mengemukakan bahwa bayi terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak tersebut.
Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda tergantung pada tingkat kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat.
Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa tersebut.
2. Nurture Approach (Pendekatan Nurtural)
Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik (atau tata bahasa) dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensintesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata, tetapi suatu tata bahasa tertentu yang berbeda di antara berbagai tata bahasa lain.
Jadi, bahasa adalah kultural (seperti pandangan Birdwhistel mengenai komunikasi nonverbal). Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur yang berbeda akan berbeda pula cara-caranya dalam memandang dunia. Misalnya, beberapa bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut 'saiju', sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilah pun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalam kultur tersebut_ Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa, karena kultur yang berbeda memiliki bahasa yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula.

3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)
Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata (dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku), aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat lebih merefleksikan dunia di mana kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantik adalah bahwa 'the word is not the thing'. Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus sedekat mungkin dengan realitas yang direfleksikannya. Meskipun demikian mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita hares mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.

A. PENGGUNAAN SIMBOL
Menurut Ogden dan Richards simbol adalah representasi ide dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda. Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Kita tahu bahwa orang yang takut ular akan ketakutan jika benar-benar melihat seekor ular, namun kadang-kadang ada orang yang begitu takutnya sehingga denyut nadinya meningkat ketika mendengar kata ular. Interaksi antara kata, maknanya dan perilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general semantics.

B. REAKSI ATAU RESPON
Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan sebagainya, dalam bentuk yang hampir sama seperti ketika hewan dikondisikan untuk bereaksi terhadap suatu tanda tertentu. Misalnya hat ini terlihat pada reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang lainnya, demikian pula dengan reaksi terhadap simbol AIDS, di mana banyak dari kita tidak ingin diasosiasikan dengan simbol tersebut.

C. IDENTITAS
Alasan utama mengapa kits cenderung untuk bereaksi daripada merespons adalah karena kita melihat kesamaan absolut atau identitas. Sedikitnya ada tiga alasan bagi kecenderungan ini, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka is menjadi tidak eksis atau tidak dianggap. Jadi terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa, misalnya, semua "perceraian" memiliki makna yang sarna atau semua pengertian `demonstrasi' adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hat-hat lainnya akan selalu berbeda.

D. KETERKAITAN PADA WAKTU DAN RUANG
General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus-menerus berubah. Kita tidak sama dengan diri kita sepuluh tahun yang lalu, bahkan juga tidak sama dengan diri kita sepuluh detik yang lalu, karena set dalam tubuh kita berkembang, mati dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada benda mati, karena molekul akan selalu berubah atau bergerak. Fenomena ini kita sebut `keterikatan waktu' (time-binding). Selain itu jugs terjadi `keterikatan ruang' (space- binding). Karena orang berada dalam. tempat atau ruang yang berbeda, mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda-beda. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif. Seperti halnya dengan waktu, ruang adalah suatu fenomena yang pasif dan penyebab perubahan (catalytic). Benda atau objek atau hal, harus berada di dalarn suatu ruang, harus memiliki jarak (dekat atau jauh) dari benda, objek, atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama, mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fisik (persepsi dan jarak), tataran psikologis (perasaan, keadaan, dan sebagainya), dan tataran kultural (norma, nilai)

E. MULTIORDINALITAS
Multiordinalitas menjelaskan mengenai pernyataan yang bertingkat- tingkat. Misalnya kita berkata bahwa `kucing belang berlari lebih cepat daripada kucing hitam'. Lalu kita bergerak pada tataran abstraksi yang lebih tinggi dan membuat pernyataan lain mengenai pernyataan ini, seperti misalnya `itu benar' atau `itu salah' atau `kalau pernyataan itu benar berarti ada hubungan antara pigmen dengan struktur otot'. Pemyataan-pernyataan ini ada pada tataran abstrak yang lebih tinggi daripada pernyataan yang pertama, karena semuanya merupakan pernyataan mengenai pernyataan yang pertama. Jadi kata 'pernyataan' dianggap memiliki multiordinal yang dapat digunakan pada tataran, atau tingkatan abstraksi yang berbeda, dan makna dari tiap-tiap tatarannya juga berbeda.

F. ORIENTASI INTENSIONAL DAN EKSTENSIONAL
- Orientasi Internal adalah orang lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada kepada kenyataan; orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana merespon objek yang digambarkan oleh kata tersebut; orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya; dan orang menggunakan pembuktian verbal, ketimbang fakta yang nyata.
- Orientasi Eksternal, yang artinya merekomendasikan seseorang untuk lebih dulu mencari faktanya. Oleh karenanya, kata-kata lain yang banyak menandai teori ini adalah seperti `observasi', `keingintahuan' `pengungkapan', `penelitian', dan 'pengujian'

4. Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa
Beberapa prinsip penting dari teori mereka adalah, konstruksi episodik dan disposisi seseorang diorganisasi oleh skemata interpersonalnya. Skemataskemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita berpikir (menganggap atau memperkirakan) mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Skemata-skemata interpersonal ini diorganisasi ke dalam semacam sistem (skema), dan pola-pola dalam sistem ini mencakup interpretasi dan penyimpulan, serta pola-pola 'konstruksi' yang kita gunakan untuk menjelaskan perilaku orang lain.
Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog-sosial yang mencoba menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai konteks.
Prinsip ketiga, variasi sistematis dalam konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks yang berbeda. Jadi, orang yang lebih banyak memiliki pilihan dalam menilai orang lain, dan lebih abstrak pemikiran konstruksi interpersonalnya, cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang terorganisasi mengenai orang lain.










Sumber :
Teori Komunikasi, Sasa Djuarsa Senjaya, dkk

Komentar

Postingan Populer